Sistem Informasi Media Edukasi & Digital Administrasi
Pemerintah Desa Ara Condong
Kabupaten Langkat

Desa
Ara Condong

Login Admin
Statistik Pengunjung
Info Aplikasi
Selamat Datang Di Sistem Informasi Media Edukasi & Digital Administrasi Desa Ara Condong, Kec. Stabat, Kab. Langkat

Info

Berita Nasional

PMK 81 TAHUN 2025: Ancaman Maladministrasi dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK 108 Tahun 2024 mengenai Dana Desa Tahun Anggaran 2025, yang diterbitkan dengan dalih pengetatan tata kelola dan dukungan terhadap program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), sesungguhnya telah menimbulkan gejolak dan kekhawatiran serius di tingkat desa.

Secara fundamental, PMK ini melahirkan dua masalah besar: Maladministrasi di Kementerian Keuangan dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa, yang berpotensi melumpuhkan program pembangunan di tingkat akar rumput.

 
Maladministrasi Kemenkeu: Melanggar Asas Non-Retroaktif

Puncak keganjilan PMK 81/2025 adalah penetapan batas waktu pemenuhan persyaratan penyaluran Dana Desa Tahap II pada tanggal 17 September 2025.

Fakta hukum menunjukkan:

    PMK 81/2025 baru ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada 19 November 2025.
    PMK 81/2025 baru resmi diundangkan dan berlaku pada 25 November 2025.
    Persyaratan kunci yang dimasukkan dalam PMK ini (terkait KDMP) baru sah secara hukum dan administratif pada akhir November 2025, namun mewajibkan kepatuhan 2-3 bulan sebelumnya.

Tindakan ini jelas melanggar Asas Non-Retroaktif dan Asas Kepastian Hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

 
Analisis Pelanggaran:

    Ketidakpastian Hukum: Aparatur Desa tidak dapat dituntut untuk memenuhi persyaratan (misalnya, membuat komitmen APBDes Perubahan untuk KDMP) berdasarkan peraturan yang secara fisik belum ada dan secara hukum belum berlaku.
    Ketidakpatutan (Maladministrasi): Ombudsman Republik Indonesia secara tegas dapat mengkategorikan tindakan ini sebagai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban hukum dalam proses pembentukan regulasi yang berdampak merugikan publik (pemerintahan desa). Sanksi penundaan atau pembatalan Dana Desa Tahap II (Pasal 29B) yang didasarkan pada tenggat waktu mundur adalah bentuk ketidakadilan administrasi yang nyata.

Keputusan Kemenkeu ini menunjukkan ketidakcermatan fatal dalam penyusunan regulasi, memaksa desa untuk “tunduk” pada aturan yang mustahil dipatuhi, sehingga meruntuhkan legitimasi proses tata kelola keuangan negara itu sendiri.

 
Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Di luar masalah maladministrasi tanggal, substansi PMK 81/2025 juga menimbulkan kemunduran besar terhadap semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek berdaulat, bukan hanya objek pembangunan pusat.
A. Intervensi Sentralistik dalam Perencanaan Desa:

PMK ini mengaitkan penyaluran dana (Dana Desa Tahap II) dengan syarat administratif yang bersifat programatik dari pusat (KDMP). Meskipun KDMP adalah program yang baik, menjadikannya syarat mutlak penyaluran dana akan:

    Mengabaikan Musyawarah Desa: Kebijakan ini secara efektif mengesampingkan keputusan Musyawarah Desa dalam menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa, sesuai dengan kewenangan lokal berskala desa. Desa dipaksa mengalokasikan sumber daya dan anggaran (melalui APBDes Perubahan) untuk KDMP agar dananya cair, meskipun prioritas mendesak mereka mungkin adalah infrastruktur dasar atau ketahanan pangan.
    Sentralisasi Kebijakan: Keputusan penggunaan Dana Desa yang seharusnya didasarkan pada kebutuhan dan potensi spesifik desa (prinsip rekognisi dan subsidiaritas) kini kembali didikte oleh agenda sektoral Kementerian Keuangan.

B. Pengawasan yang Fokus pada Administrasi, bukan Hasil:

Dengan mengancam penundaan dana jika dokumen KDMP tidak lengkap (bahkan dengan batas waktu mundur), pengawasan Kemenkeu bergeser dari mengukur kualitas belanja dan dampak pembangunan menjadi sekadar kepatuhan administratif yang dangkal. Hal ini berisiko:

    Mis-Alokasi: Desa akan memprioritaskan “proyek KDMP” yang mungkin belum matang, hanya demi mencairkan dana, mengorbankan kualitas belanja prioritas lainnya (seperti penanganan stunting atau kemiskinan ekstrem).
    Mempersempit Ruang Fiskal Desa: Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memenuhi persyaratan administratif yang dipaksakan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

PMK 81 Tahun 2025, khususnya dengan penentuan batas waktu mundur 17 September 2025, adalah praktek maladministrasi yang tidak hanya melanggar AUPB, tetapi juga mencederai amanat otonomi desa. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Kemenkeu masih melihat Dana Desa sebagai instrumen transfer semata, bukan sebagai perwujudan kedaulatan desa.

Rekomendasi Tindakan Korektif Mendesak:

    Revisi Total PMK 81/2025: Pemerintah, khususnya Kemenkeu, harus segera merevisi PMK ini, dengan menghapus tanggal 17 September 2025 dan memberikan jangka waktu yang realistis (misalnya, hingga akhir tahun anggaran) agar desa memiliki waktu yang memadai untuk berproses secara legal, partisipatif, dan faktual.
    Intervensi Legislatif: DPR RI, khususnya Komisi terkait, perlu segera memanggil Kemenkeu untuk menjelaskan kebijakan ini dan memastikan bahwa regulasi sektoral tidak boleh bertentangan dengan semangat UU Desa.
    Pengaduan ke Ombudsman: Pemerintah Desa dan organisasi pegiat desa (termasuk Patriot Desa dan Koperasi Kode Indonesia) memiliki landasan kuat untuk mengajukan pengaduan maladministrasi kepada Ombudsman RI atas dasar pelanggaran AUPB.

Kedaulatan desa atas dananya adalah kunci keberhasilan pembangunan dari bawah. Mengorbankan prinsip hukum demi pengetatan administrasi yang terburu-buru adalah langkah mundur dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

Konten ini telah tayang di desamerdeka.id dengan judul "PMK 81 TAHUN 2025: Ancaman Maladministrasi dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa - Desa Merdeka", Klik untuk baca: https://desamerdeka.id/pmk-81-tahun-2025-ancaman-maladministrasi-dan-erosi-kedaulatan-fiskal-desa/

Penulis: *Suryokoco Suryoputro*

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK 108 Tahun 2024 mengenai Dana Desa Tahun Anggaran 2025, yang diterbitkan dengan dalih pengetatan tata kelola dan dukungan terhadap program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), sesungguhnya telah menimbulkan gejolak dan kekhawatiran serius di tingkat desa.

Secara fundamental, PMK ini melahirkan dua masalah besar: Maladministrasi di Kementerian Keuangan dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa, yang berpotensi melumpuhkan program pembangunan di tingkat akar rumput.

 
Maladministrasi Kemenkeu: Melanggar Asas Non-Retroaktif

Puncak keganjilan PMK 81/2025 adalah penetapan batas waktu pemenuhan persyaratan penyaluran Dana Desa Tahap II pada tanggal 17 September 2025.

Fakta hukum menunjukkan:

    PMK 81/2025 baru ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada 19 November 2025.
    PMK 81/2025 baru resmi diundangkan dan berlaku pada 25 November 2025.
    Persyaratan kunci yang dimasukkan dalam PMK ini (terkait KDMP) baru sah secara hukum dan administratif pada akhir November 2025, namun mewajibkan kepatuhan 2-3 bulan sebelumnya.

Tindakan ini jelas melanggar Asas Non-Retroaktif dan Asas Kepastian Hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

 
Analisis Pelanggaran:

    Ketidakpastian Hukum: Aparatur Desa tidak dapat dituntut untuk memenuhi persyaratan (misalnya, membuat komitmen APBDes Perubahan untuk KDMP) berdasarkan peraturan yang secara fisik belum ada dan secara hukum belum berlaku.
    Ketidakpatutan (Maladministrasi): Ombudsman Republik Indonesia secara tegas dapat mengkategorikan tindakan ini sebagai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban hukum dalam proses pembentukan regulasi yang berdampak merugikan publik (pemerintahan desa). Sanksi penundaan atau pembatalan Dana Desa Tahap II (Pasal 29B) yang didasarkan pada tenggat waktu mundur adalah bentuk ketidakadilan administrasi yang nyata.

Keputusan Kemenkeu ini menunjukkan ketidakcermatan fatal dalam penyusunan regulasi, memaksa desa untuk “tunduk” pada aturan yang mustahil dipatuhi, sehingga meruntuhkan legitimasi proses tata kelola keuangan negara itu sendiri.

 
Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Di luar masalah maladministrasi tanggal, substansi PMK 81/2025 juga menimbulkan kemunduran besar terhadap semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek berdaulat, bukan hanya objek pembangunan pusat.
A. Intervensi Sentralistik dalam Perencanaan Desa:

PMK ini mengaitkan penyaluran dana (Dana Desa Tahap II) dengan syarat administratif yang bersifat programatik dari pusat (KDMP). Meskipun KDMP adalah program yang baik, menjadikannya syarat mutlak penyaluran dana akan:

    Mengabaikan Musyawarah Desa: Kebijakan ini secara efektif mengesampingkan keputusan Musyawarah Desa dalam menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa, sesuai dengan kewenangan lokal berskala desa. Desa dipaksa mengalokasikan sumber daya dan anggaran (melalui APBDes Perubahan) untuk KDMP agar dananya cair, meskipun prioritas mendesak mereka mungkin adalah infrastruktur dasar atau ketahanan pangan.
    Sentralisasi Kebijakan: Keputusan penggunaan Dana Desa yang seharusnya didasarkan pada kebutuhan dan potensi spesifik desa (prinsip rekognisi dan subsidiaritas) kini kembali didikte oleh agenda sektoral Kementerian Keuangan.

B. Pengawasan yang Fokus pada Administrasi, bukan Hasil:

Dengan mengancam penundaan dana jika dokumen KDMP tidak lengkap (bahkan dengan batas waktu mundur), pengawasan Kemenkeu bergeser dari mengukur kualitas belanja dan dampak pembangunan menjadi sekadar kepatuhan administratif yang dangkal. Hal ini berisiko:

    Mis-Alokasi: Desa akan memprioritaskan “proyek KDMP” yang mungkin belum matang, hanya demi mencairkan dana, mengorbankan kualitas belanja prioritas lainnya (seperti penanganan stunting atau kemiskinan ekstrem).
    Mempersempit Ruang Fiskal Desa: Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memenuhi persyaratan administratif yang dipaksakan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

PMK 81 Tahun 2025, khususnya dengan penentuan batas waktu mundur 17 September 2025, adalah praktek maladministrasi yang tidak hanya melanggar AUPB, tetapi juga mencederai amanat otonomi desa. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Kemenkeu masih melihat Dana Desa sebagai instrumen transfer semata, bukan sebagai perwujudan kedaulatan desa.

Rekomendasi Tindakan Korektif Mendesak:

    Revisi Total PMK 81/2025: Pemerintah, khususnya Kemenkeu, harus segera merevisi PMK ini, dengan menghapus tanggal 17 September 2025 dan memberikan jangka waktu yang realistis (misalnya, hingga akhir tahun anggaran) agar desa memiliki waktu yang memadai untuk berproses secara legal, partisipatif, dan faktual.
    Intervensi Legislatif: DPR RI, khususnya Komisi terkait, perlu segera memanggil Kemenkeu untuk menjelaskan kebijakan ini dan memastikan bahwa regulasi sektoral tidak boleh bertentangan dengan semangat UU Desa.
    Pengaduan ke Ombudsman: Pemerintah Desa dan organisasi pegiat desa (termasuk Patriot Desa dan Koperasi Kode Indonesia) memiliki landasan kuat untuk mengajukan pengaduan maladministrasi kepada Ombudsman RI atas dasar pelanggaran AUPB.

Kedaulatan desa atas dananya adalah kunci keberhasilan pembangunan dari bawah. Mengorbankan prinsip hukum demi pengetatan administrasi yang terburu-buru adalah langkah mundur dalam tata kelola pemerintahan yang baik.(https://desamerdeka.id/pmk-81-tahun-2025-ancaman-maladministrasi-dan-erosi-kedaulatan-fiskal-desa/)

Penulis: *Suryokoco Suryoputro*

Beri Komentar

Komentar Facebook

layananmandiri

Hubungi Aparatur Desa Untuk mendapatkan PIN

Statistik Penduduk

Total Populasi Desa Ara Condong

3441 3441

3337 6778

6778

6778 6778

TOTAL : 6778 ORANG

3441

LAKI-LAKI

3337

PEREMPUAN

Lokasi Kantor Desa

Alamat:Jln. Stabat - Secanggang Dusun I Pasar VI No. 32
Desa : Ara Condong
Kecamatan : Stabat
Kabupaten : Langkat
Kodepos : 20811

Peta Wilayah Desa

Transparansi Anggaran

APBDes 2025 Pelaksanaan

Pendapatan

Anggaran:Rp 1.970.809.000,00
Realisasi:RP 1.395.263.961,00

70.8%

Belanja

Anggaran:Rp 1.970.809.000,00
Realisasi:RP 1.395.263.961,00

70.8%

APBDes 2025 Pendapatan

Dana Desa

Anggaran:Rp 1.214.374.000,00
Realisasi:RP 743.654.800,00

61.24%

Bagi Hasil Pajak Dan Retribusi

Anggaran:Rp 52.252.000,00
Realisasi:RP 19.050.000,00

36.46%

Alokasi Dana Desa

Anggaran:Rp 704.183.000,00
Realisasi:RP 632.559.161,00

89.83%

APBDes 2025 Pembelanjaan

Bidang Penyelenggaran Pemerintahan Desa

Anggaran:Rp 678.686.372,00
Realisasi:RP 655.609.161,00

96.6%

Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa

Anggaran:Rp 634.454.800,00
Realisasi:RP 433.954.800,00

68.4%

Bidang Pembinaan Kemasyarakatan Desa

Anggaran:Rp 140.679.848,00
Realisasi:RP 25.000.000,00

17.77%

Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa

Anggaran:Rp 466.587.980,00
Realisasi:RP 242.900.000,00

52.06%

Bidang Penanggulangan Bencana, Darurat Dan Mendesak Desa

Anggaran:Rp 50.400.000,00
Realisasi:RP 37.800.000,00

75%

Sistem Informasi Media Edukasi & Digital Administrasi
Pemerintah Desa Ara Condong
Kabupaten Langkat

Desa
Ara Condong

Login Admin
Statistik Pengunjung
Info Aplikasi

Berita Nasional

PMK 81 TAHUN 2025: Ancaman Maladministrasi dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK 108 Tahun 2024 mengenai Dana Desa Tahun Anggaran 2025, yang diterbitkan dengan dalih pengetatan tata kelola dan dukungan terhadap program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), sesungguhnya telah menimbulkan gejolak dan kekhawatiran serius di tingkat desa.

Secara fundamental, PMK ini melahirkan dua masalah besar: Maladministrasi di Kementerian Keuangan dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa, yang berpotensi melumpuhkan program pembangunan di tingkat akar rumput.

 
Maladministrasi Kemenkeu: Melanggar Asas Non-Retroaktif

Puncak keganjilan PMK 81/2025 adalah penetapan batas waktu pemenuhan persyaratan penyaluran Dana Desa Tahap II pada tanggal 17 September 2025.

Fakta hukum menunjukkan:

    PMK 81/2025 baru ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada 19 November 2025.
    PMK 81/2025 baru resmi diundangkan dan berlaku pada 25 November 2025.
    Persyaratan kunci yang dimasukkan dalam PMK ini (terkait KDMP) baru sah secara hukum dan administratif pada akhir November 2025, namun mewajibkan kepatuhan 2-3 bulan sebelumnya.

Tindakan ini jelas melanggar Asas Non-Retroaktif dan Asas Kepastian Hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

 
Analisis Pelanggaran:

    Ketidakpastian Hukum: Aparatur Desa tidak dapat dituntut untuk memenuhi persyaratan (misalnya, membuat komitmen APBDes Perubahan untuk KDMP) berdasarkan peraturan yang secara fisik belum ada dan secara hukum belum berlaku.
    Ketidakpatutan (Maladministrasi): Ombudsman Republik Indonesia secara tegas dapat mengkategorikan tindakan ini sebagai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban hukum dalam proses pembentukan regulasi yang berdampak merugikan publik (pemerintahan desa). Sanksi penundaan atau pembatalan Dana Desa Tahap II (Pasal 29B) yang didasarkan pada tenggat waktu mundur adalah bentuk ketidakadilan administrasi yang nyata.

Keputusan Kemenkeu ini menunjukkan ketidakcermatan fatal dalam penyusunan regulasi, memaksa desa untuk “tunduk” pada aturan yang mustahil dipatuhi, sehingga meruntuhkan legitimasi proses tata kelola keuangan negara itu sendiri.

 
Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Di luar masalah maladministrasi tanggal, substansi PMK 81/2025 juga menimbulkan kemunduran besar terhadap semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek berdaulat, bukan hanya objek pembangunan pusat.
A. Intervensi Sentralistik dalam Perencanaan Desa:

PMK ini mengaitkan penyaluran dana (Dana Desa Tahap II) dengan syarat administratif yang bersifat programatik dari pusat (KDMP). Meskipun KDMP adalah program yang baik, menjadikannya syarat mutlak penyaluran dana akan:

    Mengabaikan Musyawarah Desa: Kebijakan ini secara efektif mengesampingkan keputusan Musyawarah Desa dalam menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa, sesuai dengan kewenangan lokal berskala desa. Desa dipaksa mengalokasikan sumber daya dan anggaran (melalui APBDes Perubahan) untuk KDMP agar dananya cair, meskipun prioritas mendesak mereka mungkin adalah infrastruktur dasar atau ketahanan pangan.
    Sentralisasi Kebijakan: Keputusan penggunaan Dana Desa yang seharusnya didasarkan pada kebutuhan dan potensi spesifik desa (prinsip rekognisi dan subsidiaritas) kini kembali didikte oleh agenda sektoral Kementerian Keuangan.

B. Pengawasan yang Fokus pada Administrasi, bukan Hasil:

Dengan mengancam penundaan dana jika dokumen KDMP tidak lengkap (bahkan dengan batas waktu mundur), pengawasan Kemenkeu bergeser dari mengukur kualitas belanja dan dampak pembangunan menjadi sekadar kepatuhan administratif yang dangkal. Hal ini berisiko:

    Mis-Alokasi: Desa akan memprioritaskan “proyek KDMP” yang mungkin belum matang, hanya demi mencairkan dana, mengorbankan kualitas belanja prioritas lainnya (seperti penanganan stunting atau kemiskinan ekstrem).
    Mempersempit Ruang Fiskal Desa: Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memenuhi persyaratan administratif yang dipaksakan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

PMK 81 Tahun 2025, khususnya dengan penentuan batas waktu mundur 17 September 2025, adalah praktek maladministrasi yang tidak hanya melanggar AUPB, tetapi juga mencederai amanat otonomi desa. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Kemenkeu masih melihat Dana Desa sebagai instrumen transfer semata, bukan sebagai perwujudan kedaulatan desa.

Rekomendasi Tindakan Korektif Mendesak:

    Revisi Total PMK 81/2025: Pemerintah, khususnya Kemenkeu, harus segera merevisi PMK ini, dengan menghapus tanggal 17 September 2025 dan memberikan jangka waktu yang realistis (misalnya, hingga akhir tahun anggaran) agar desa memiliki waktu yang memadai untuk berproses secara legal, partisipatif, dan faktual.
    Intervensi Legislatif: DPR RI, khususnya Komisi terkait, perlu segera memanggil Kemenkeu untuk menjelaskan kebijakan ini dan memastikan bahwa regulasi sektoral tidak boleh bertentangan dengan semangat UU Desa.
    Pengaduan ke Ombudsman: Pemerintah Desa dan organisasi pegiat desa (termasuk Patriot Desa dan Koperasi Kode Indonesia) memiliki landasan kuat untuk mengajukan pengaduan maladministrasi kepada Ombudsman RI atas dasar pelanggaran AUPB.

Kedaulatan desa atas dananya adalah kunci keberhasilan pembangunan dari bawah. Mengorbankan prinsip hukum demi pengetatan administrasi yang terburu-buru adalah langkah mundur dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

Konten ini telah tayang di desamerdeka.id dengan judul "PMK 81 TAHUN 2025: Ancaman Maladministrasi dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa - Desa Merdeka", Klik untuk baca: https://desamerdeka.id/pmk-81-tahun-2025-ancaman-maladministrasi-dan-erosi-kedaulatan-fiskal-desa/

Penulis: *Suryokoco Suryoputro*

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK 108 Tahun 2024 mengenai Dana Desa Tahun Anggaran 2025, yang diterbitkan dengan dalih pengetatan tata kelola dan dukungan terhadap program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), sesungguhnya telah menimbulkan gejolak dan kekhawatiran serius di tingkat desa.

Secara fundamental, PMK ini melahirkan dua masalah besar: Maladministrasi di Kementerian Keuangan dan Erosi Kedaulatan Fiskal Desa, yang berpotensi melumpuhkan program pembangunan di tingkat akar rumput.

 
Maladministrasi Kemenkeu: Melanggar Asas Non-Retroaktif

Puncak keganjilan PMK 81/2025 adalah penetapan batas waktu pemenuhan persyaratan penyaluran Dana Desa Tahap II pada tanggal 17 September 2025.

Fakta hukum menunjukkan:

    PMK 81/2025 baru ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada 19 November 2025.
    PMK 81/2025 baru resmi diundangkan dan berlaku pada 25 November 2025.
    Persyaratan kunci yang dimasukkan dalam PMK ini (terkait KDMP) baru sah secara hukum dan administratif pada akhir November 2025, namun mewajibkan kepatuhan 2-3 bulan sebelumnya.

Tindakan ini jelas melanggar Asas Non-Retroaktif dan Asas Kepastian Hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

 
Analisis Pelanggaran:

    Ketidakpastian Hukum: Aparatur Desa tidak dapat dituntut untuk memenuhi persyaratan (misalnya, membuat komitmen APBDes Perubahan untuk KDMP) berdasarkan peraturan yang secara fisik belum ada dan secara hukum belum berlaku.
    Ketidakpatutan (Maladministrasi): Ombudsman Republik Indonesia secara tegas dapat mengkategorikan tindakan ini sebagai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban hukum dalam proses pembentukan regulasi yang berdampak merugikan publik (pemerintahan desa). Sanksi penundaan atau pembatalan Dana Desa Tahap II (Pasal 29B) yang didasarkan pada tenggat waktu mundur adalah bentuk ketidakadilan administrasi yang nyata.

Keputusan Kemenkeu ini menunjukkan ketidakcermatan fatal dalam penyusunan regulasi, memaksa desa untuk “tunduk” pada aturan yang mustahil dipatuhi, sehingga meruntuhkan legitimasi proses tata kelola keuangan negara itu sendiri.

 
Erosi Kedaulatan Fiskal Desa

Di luar masalah maladministrasi tanggal, substansi PMK 81/2025 juga menimbulkan kemunduran besar terhadap semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek berdaulat, bukan hanya objek pembangunan pusat.
A. Intervensi Sentralistik dalam Perencanaan Desa:

PMK ini mengaitkan penyaluran dana (Dana Desa Tahap II) dengan syarat administratif yang bersifat programatik dari pusat (KDMP). Meskipun KDMP adalah program yang baik, menjadikannya syarat mutlak penyaluran dana akan:

    Mengabaikan Musyawarah Desa: Kebijakan ini secara efektif mengesampingkan keputusan Musyawarah Desa dalam menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa, sesuai dengan kewenangan lokal berskala desa. Desa dipaksa mengalokasikan sumber daya dan anggaran (melalui APBDes Perubahan) untuk KDMP agar dananya cair, meskipun prioritas mendesak mereka mungkin adalah infrastruktur dasar atau ketahanan pangan.
    Sentralisasi Kebijakan: Keputusan penggunaan Dana Desa yang seharusnya didasarkan pada kebutuhan dan potensi spesifik desa (prinsip rekognisi dan subsidiaritas) kini kembali didikte oleh agenda sektoral Kementerian Keuangan.

B. Pengawasan yang Fokus pada Administrasi, bukan Hasil:

Dengan mengancam penundaan dana jika dokumen KDMP tidak lengkap (bahkan dengan batas waktu mundur), pengawasan Kemenkeu bergeser dari mengukur kualitas belanja dan dampak pembangunan menjadi sekadar kepatuhan administratif yang dangkal. Hal ini berisiko:

    Mis-Alokasi: Desa akan memprioritaskan “proyek KDMP” yang mungkin belum matang, hanya demi mencairkan dana, mengorbankan kualitas belanja prioritas lainnya (seperti penanganan stunting atau kemiskinan ekstrem).
    Mempersempit Ruang Fiskal Desa: Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memenuhi persyaratan administratif yang dipaksakan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

PMK 81 Tahun 2025, khususnya dengan penentuan batas waktu mundur 17 September 2025, adalah praktek maladministrasi yang tidak hanya melanggar AUPB, tetapi juga mencederai amanat otonomi desa. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Kemenkeu masih melihat Dana Desa sebagai instrumen transfer semata, bukan sebagai perwujudan kedaulatan desa.

Rekomendasi Tindakan Korektif Mendesak:

    Revisi Total PMK 81/2025: Pemerintah, khususnya Kemenkeu, harus segera merevisi PMK ini, dengan menghapus tanggal 17 September 2025 dan memberikan jangka waktu yang realistis (misalnya, hingga akhir tahun anggaran) agar desa memiliki waktu yang memadai untuk berproses secara legal, partisipatif, dan faktual.
    Intervensi Legislatif: DPR RI, khususnya Komisi terkait, perlu segera memanggil Kemenkeu untuk menjelaskan kebijakan ini dan memastikan bahwa regulasi sektoral tidak boleh bertentangan dengan semangat UU Desa.
    Pengaduan ke Ombudsman: Pemerintah Desa dan organisasi pegiat desa (termasuk Patriot Desa dan Koperasi Kode Indonesia) memiliki landasan kuat untuk mengajukan pengaduan maladministrasi kepada Ombudsman RI atas dasar pelanggaran AUPB.

Kedaulatan desa atas dananya adalah kunci keberhasilan pembangunan dari bawah. Mengorbankan prinsip hukum demi pengetatan administrasi yang terburu-buru adalah langkah mundur dalam tata kelola pemerintahan yang baik.(https://desamerdeka.id/pmk-81-tahun-2025-ancaman-maladministrasi-dan-erosi-kedaulatan-fiskal-desa/)

Penulis: *Suryokoco Suryoputro*

Beri Komentar

Komentar Facebook